Kritik Singkat Clark Terhadap Bavinck Terkait Trinitas

Sekarang kita coba mundur dari segi waktu, menyeberangi ulang Lautan Atlantik menuju ke Belanda, dan dalam rangka mempersiapkan diri memahami pandangan Dr. Cornelius Van Til dari Westminster Seminary, kita akan membahas teologi Herman Bavinck.[1]

Menjelang awal bukunya Bavinck menegaskan “…gagasan bahwa orang percaya mampu mengerti dan memahami secara intelektual misteri-misteri yang diwahyukan, sama tidak alkitabiahnya. Sebaliknya, kebenaran yang Allah wahyukan tentang diri-Nya dalam Kitab Suci

jauh melampaui konsepsi dan pemahaman manusia” (13). Kalau dipahami secara cepat kata-kata itu tampaknya bertentangan dengan 1 Korintus 2:7-16 dimana “Tidak ada dari penguasa dunia ini  yang mengenalnya,” namun “Tetapi kami memiliki pikiran Kristus.”

Dalam Efesus 3:3 “rahasianya dinyatakan kepadaku dengan wahyu… kamu dapat mengetahui dari padanya pengertianku akan rahasia Kristus.” Dalam ayat-ayat setelahnya misteri tersebut diberitahukan kepada Orang-Orang Efesus ataupun kepada para pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga. Secara khusus, karena Bavinck secara tegas menyatakan bahwa kita tidak dapat memahami Kitab Suci, kita harus menegaskan bahwa “Segala tulisan yang diilhamkan Allah … bermanfaat untuk mengajar,… Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” Jika kita tidak dapat mengerti atau memahami apa yang Allah nyatakan untuk kita lakukan, apa manfaat wahyu?

Harus diakui Bavinck menghabiskan beberapa halaman berikutnya untuk berargumen bahwa Allah dapat diketahui. Yang menjadi kesulitan adalah kelalaiannya untuk mendefinisikan “inkomprehensibilitas”/”kemustahilan dipahami” untuk membedakannya dari pengetahuan. Apakah “inkomprehensibilitas” berarti bahwa kita tidak mengetahui segala sesuatu yang Allah ketahui? Beberapa teolog Belanda lainnya telah menolak gagasan itu sebagai sekedar perbedaan “kuantitatif”. Mereka menginginkan pembedaan kualitatif yang menyeluruh, namun menolak untuk menyebutkan kualitas yang dimaksud, dan mendefinisikan kualitas. Bavinck membuat pernyataan tertentu: Allah dapat diaprehensi; dia tidak bisa dipahami. Ada “pengetahuan” tetapi tidak ada “pemahaman” tentang Allah (32, 33). Mungkin kita harus memahami kalimat berikut sebagai penjelasannya: “Kita sepenuhnya setuju dengan Kant bahwa pengetahuan kita terbatas pada dunia pengalaman” (36). Luar biasa! Alasan Kant menyangkal pengetahuan tentang Allah adalah karena ia membatasi pengetahuan pada konten/isi yang bersifat indrawi. Pikiran menerapkan ruang, waktu, dan sebab akibat pada sensasi yang kacau. Allah dan Ding an sich sama sekali tidak dapat diketahui karena mereka tidak memiliki konten indrawi. Bagaimana Bavinck, jika ia seorang Kristen, “sepenuhnya setuju” dengan Kant yang membatasi pengetahuan pada pengalaman? Apakah ia menjadikan Allah tidak dapat diketahui? Atau apakah ia berpendapat bahwa Allah adalah objek sensasi inderawi?

Bavinck menegaskan bahwa “Semua orang yang mengajarkan komprehensibilitas Allah bersedia mengakui bahwa pengetahuan [tentang Allah] tersebut bersifat khas dan sangat terbatas” (41). Pernyataan seperti itu terlalu universal. Agaknya semua yang mengajarkan komprehensibilitas Allah setuju bahwa jangkauannya sangat terbatas; tetapi tidak semua setuju bahwa pengetahuan ini khas. Sama seperti semua pengetahuan lainnya, pengetahuan kita tentang Allah terdiri dari proposisi atau kebenaran tertentu. Tidak diragukan, memang benar bahwa “apa yang Allah nyatakan tentang diri-Nya … begitu kaya dan dalam [mungkin maksud Bavinck luas dan rumit] sehingga tidak pernah dapat sepenuhnya diketahui oleh setiap individu manusia.” Tetapi kesulitan mengetahui ini tidak diakibatkan karena pengetahuan tentang Allah merupakan jenis pengetahuan yang khas dan berbeda: Kesulitannya terletak pada fakta bahwa hidup ini terlalu singkat untuk memahami Alkitab. Cacatnya terletak pada singkatnya hidup manusia, dan sering kali pada kemampuan manusia yang medioker, bukan pada kemungkinan melekat untuk dipahami atau tidak dipahaminya wahyu, karena semua Kitab Suci bermanfaat bagi doktrin. Bavinck mencoba mendukung posisinya dengan perbandingan terbalik. Dia berkata, “Dalam banyak hal kita bahkan tidak memahami semesta makhluk ciptaan,… Lalu bagaimana kita dapat memahami wahyu Tuhan?” Yang benar justru sebaliknya, karena seperti yang dikatakan Hume dan Einstein, dan seperti yang ditunjukkan dengan jelas oleh sejarah sains, kita tidak akan pernah bisa menemukan satu hukum alam pun. Hukum fisika terus berubah.[2] Alkitab tak berubah. Karena itu adalah sebuah keniscayaan dan lebih mudah untuk mengenal Tuhan daripada mengetahui tentang bagaimana alam bekerja.

Menentang teori gagasan bawaan, Bavinck menegaskan bahwa “manusia, secara alami dan tidak terelakkan, sampai pada gagasan [tentang Allah] ini … melalui perenungan terhadap wahyu Allah di alam” (48). Dalam kalimat berikutnya ia menyatakan bahwa “Agustinus setuju secara substansial … meskipun baginya ketergantungan jiwa pada sensasi [inderawi] tampaknya tidak begitu besar”, seperti pada para bapa gereja sebelumnya. Tetapi proposisi universal [yang Bavinck kemukakan] jelas salah. Banyak anak berusia lima tahun memiliki gagasan tentang Allah tanpa merenungkan tentang alam. Memang pada paragraf berikutnya Bavinck mengutip Agustinus: “Allah mengarahkan pikiran manusia tanpa campur tangan alam.” Kemudian, tanpa kutipan kata demi kata, Bavinck melaporkan bahwa menurut Agustinus “kita memahami kebenaran yang dapat dipahami [bukan dengan cahaya matahari, tetapi] dengan cahaya Allah.” Lalu dengan siapa Bavinck sepenuhnya setuju? Kant atau Agustinus? Ia bahkan menambahkan, “Calvin… berpendapat bahwa ‘rasa Ketuhanan’ ditanamkan dalam jiwa manusia ‘dengan naluri alami’ ”(52). Pada halaman berikutnya tampaknya Ursinus, Zanchius (“bawaan, yang tidak dilengkapi oleh pengalaman” yang diketahui anak-anak secara langsung) dan Polanus sama-sama berpegang pada gagasan bawaan.

Argumen Bavinck membantah gagasan bawaan tidak sehat/sound. Ia mengatakan bahwa teori tersebut “mengarah ke rasionalisme dengan membuat manusia independen dari wahyu ilahi” (53). Ada dua alasan mengapa hal ini salah. Pertama, teori gagasan bawaan tidak mengharuskan doktrin Penebusan menjadi gagasan bawaan. Kedua, tanpa hukum logika bawaan, tidak ada seseorang yang dapat memahami pesan Alkitab. Argumen Bavinck berikutnya membantah gagasan bawaan adalah bahwa gagasan bawaan mengarah pada mistisisme. Argumen ini bahkan lebih jauh dari kebenaran daripada pernyataan bahwa teori ini membawa pada rasionalisme. Baik Leibniz, Descartes, maupun Anselm tidak pernah merekomendasikan kesurupan (trens) mistik. Argumen ketiga Bavinck adalah bahwa gagasan bawaan bertentangan dengan Kitab Suci. Sama sekali tidak benar: Gagasan bawaan penting bagi doktrin Alkitab bahwa manusia adalah gambar Allah. Keempat, teori gagasan bawaan tidak selaras dengan psikologi. Tapi karena psikologi agak Freudian, behavioristik, dan humanistik, maka yang dikemukakan tidak cocok disebut keberatan. Kelima, gagasan bawaan berseberangan dengan fakta sejarah karena sejarah menunjukkan bahwa gagasan-gagasan moral dan estetika berbeda dari satu suku ke suku lainnya, dan “Ini mustahil terjadi jika ide-ide ini merupakan bawaan.” Keberatan ini, seperti halnya yang pertama, mengasumsikan bahwa teori gagasan bawaan menegaskan bahwa semua gagasan adalah bawaan. Tetapi Kant hanya memiliki dua belas, atau empat belas gagasan bawaan, jika kita memasukkan ruang dan waktu. McCosh dengan Intuitions of the Mind Inductively Investigated, betapapun mungkin bodohnya itu, hanya memiliki jumlah yang terbatas. Tetapi bahkan dalam pandangan Plato pun, kalaupun semua Gagasan adalah bawaan, banyak dari gagasan-gagasan tersebut yang harus menunggu kenangan saat orang memiliki berbagai opini yang bukan Gagasan.

Sanggahan terhadap Bavinck ini membatasi diri pada pernyataan pengantar yang sangat sangat berani. Kelanjutan eksposisi Bavinck ini tidak hanya bingung, tetapi dirusak oleh pernyataan yang salah, seperti, “Dualisme Descartes … yang diangkat kembali … dalam filsafat yang lebih baru, telah membawa Kant … ke rasionalisme yang membangun seluruh alam semesta berdasarkan isi refleksi imanen manusia ”(54). Saya tidak tahu siapa yang telah menegaskan kembali dualisme Descartes. Kant tentu tidak, karena selain refleksi ada das Gegebenes, kandungan indera yang tidak bisa tidak ada. Selain itu, Bavinck sepenuhnya setuju dengan Kant.

Setelah penjelasan dan sanggahannya yang tidak memadai terhadap gagasan bawaan, dan pujiannya terhadap Locke yang membela “kebenaran mulia” empirisme, meskipun “mistisisme dan rasionalisme bermaksud baik ketika keduanya membela gagasan tentang hal-hal tidak dapat dicapai melalui persepsi inderawi” (55), Bavinck melanjutkan dengan menganjurkan semacam apriorisme. Cacat utama dari upaya ini bukanlah bahasa yang berbunga-bunga, seperti “benih agama, rasa ketuhanan, naluri ketuhanan” (57), atau berbagai pernyataan yang tidak jelas benar, tetapi ketiadaan total daftar bentuk-bentuk apriori yang diperlukan untuk pembelajaran. Meskipun penganut empirisme, Aristoteles, mencantumkan sepuluh kategori apriori. Kant, lebih konsisten, memiliki dua belas. Lebih buruk lagi, kategori Bavinck “tidak digunakan untuk menentang dengan doktrin [Lockean dan Thomistik] bahwa manusia dilahirkan sebagai tabula rasa” (58). Ini menaruh plume (hiasan bulu) membanggakan pada topi Bavinck, dilama ‘pl’ berasal dari Plato dan ‘ume’ dari Hume.

Dalam menjelaskan pribadi-pribadi Trinitas melalui perbandingan hubungan intertrinitarian dengan hubungan antar manusia, Bavinck berpendapat, “Konsep ‘kodrat manusia’ adalah konsep universal … konsep itu nyata dan hadir dalam setiap individu manusia, tetapi konsep itu hadir secara berbeda dan secara terbatas pada setiap orang. Kodrat manusia tidak pernah sepenuhnya dan tanpa batas hadir dalam diri seorang manusia mana pun ”(298). Istilah tanpa batas tidak memiliki makna di sini. Kualitas sukulen ada dalam setiap kaktus, namun mengatakan bahwa sukulen hadir atau atau tidak hadir tanpa batas dalam suguaro bukan hanya salah tetapi tidak masuk akal. Tapi sifat sukulen itu ada di setiap suguaro sepenuhnya atau selengkapnya. Begitu juga dengan manusia. Kecuali jika definisi manusia sepenuhnya ada dalam dalam satu objek, objek itu bukanlah manusia. Seperti halnya kaktus memiliki lima karakteristik, manusia memiliki sejumlah karakteristik yang tetap. Jika salah satunya tidak ada, maka obyek itu bukan suguaro atau bukan manusia. Setiap argumen yang menyangkal adanya definisi lengkap dalam contoh-contoh partikular menyangkal bahwa definisi penuh Ketuhanan dapat diterapkan pada Sang Putra. Bavinck, karena filosofinya yang salah, mendistorsi doktrin Trinitas.

[1]Doctrine of God, translated by William Hendriksen from the third edition of his Gereformeerde Dogmatik, 1918; Banner of Truth Trust, 1977, 1978; Eerdmans, 1951.

Diterjemahkan Kuru Ma dari Trinity, tulisan Gordon H. Clark

Pos ini dipublikasikan di Filosofi, Gordon H. Clark, Logika. Tandai permalink.

Mau Komentar? Silahkan! Tetapi perhatikan cara diskusi yang baik! Perhatikan juga bahwa semua tulisan di sini berhak cipta, jadi tolong identifikasi sumber anda kalau mau mengutip tulisan di sini! Terima kasih

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.