Yesus Kristus atau Mati.

Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka:  “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.  Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.

Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?  Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia,  sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.

Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang?  Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian.  Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.

(Lukas 14:25-33)

Beberapa aspek dari pelayanan Yesus Kristus sangat menarik bagi orang banyak. Khotbahnya berotoritas dan mengungkap kebenaran, menentang tradisi buatan manusia, dan membebaskan mereka dari beban yang dibebankan lembaga agama yang ada saat itu. Kemudian ada juga mujizat. Beratus-ratus mujizat dilakukan. Ia menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, membangkitkan orang mati, dan memperbanyak makanan. Tidak seperti yang dikatakan orang yang berusaha untuk meremehkan mujizat, tidak semua orang yang mencari mujizat itu karena motif yang tidak benar seperti misalnya memuaskan rasa ingin tahu. Banyak orang yang benar-benar butuh mujizat dan mereka akhirnya beriman kepada Yesus Kristus. Semua yang buta dan penderita kusta tidak sedang mencari hiburan tetapi mencari pertolongan Tuhan. Tuhan tidak mencela mereka, tetapi memuji dan menyembuhkan mereka.

Baca lebih lanjut
Dipublikasi di Alkitab, Iman, Injil, Vincent Cheung | Tag , | Meninggalkan komentar

Perjumpaan Clark dengan Saksi Yehovah

Satu hari di sebuah musim panas aku sedang membersihkan bunga-bunga liar dari halaman rumah Clark (di Wheaton, Illinois). Gordon selalu punya pekerjaan bagi mahasiwa-mahasiswa yang kehabisan uang. Gordon duduk di kursi yang berada di halaman sambil membaca buku. Kemudian seorang Saksi Yehovah datang dengan sebuah fonograf (fonograf lazim digunakan kala itu). Di dalam disk pada fonograf tersebut direkam suara Rutherford – salah satu tokoh utama Saksi Yehova). Saya mendekat di balik semak bunga-bunga liar untuk mengetahui apa yang terjadi. Gordon bertanya, “Tapi apa yang anda percaya tentang Yesus Kristus? Apakah Dia Allah?” Jawaban sedikit menghindar, bahwa Yesus adalah penguasa atas ciptaan. Gordon kemudian mengangkat pasal 1 Injil Yohanes. Si Saksi Yehovah dengan senang hati menjawab, “O ya, tapi Bahasa Yunaninya tidak mengatakan Sang Allah; dalam Yohanes 1 : 1 kata yang digunakan untuk “Allah” tidak memiliki artikel definitif.”

Gordon membalas, “Jadi Anda sudah belajar bahasa Yunani?”

Si Saksi Yehovah menjawab, “O.. ya. Kami sangat mendalami Kitab Suci.”

Gordon kemudian memberinya buku yang sedang ia baca. “Mungkin anda bisa tolong baca ini untuk saya?” Buku tersebut adalah buku karya Plotinus berbahasa Yunani. Saat itu Gordon sedang membacanya tanpa kamus. (Saya pikir ia sedang mempersiapkan semacam konkordansi untuk tulisan Plotinus.)

Si Saksi Yehovah memandang buku tersebut, mengangkat fonografnya dan kemudian cepat-cepat pergi.

Diterjemahkan dari buku, “Gordon H. Clark Personal Recollections” yang disunting John Robbins. Tulisan ini adalah pengalaman Edmund Clowney bersama Clark.

Dipublikasi di Gordon H. Clark, Injil | Meninggalkan komentar

Kelanjutan Kontroversi dan Akibat-AkibatNya

Di bawah ini adalah terjemahan Bab 8 Biografi Gordon H. Clark terkait perdebatannya dengan van Til.

“Sidang [1946] tersebut mendukung penahbisan Dr. Gordon H. Clark dengan suara hampir mencapai dua banding satu. Seorang anggota fakultas Seminari Westminster dengan pidato yang berapi-api menyatakan bahwa tidak boleh ada seorang pun yang berpikir bahwa apa yang disebut kasus Clark telah berakhir, dan bahwa ia akan terus berjuang sampai ‘napas penghabisannya’. Mereka berupaya menggagalkan penahbisan Tuan Tichenor. Mereka berhasil menggagalkan pengutusan Pdt. Floyd E. Hamilton untuk mengajar di sebuah seminari di Korea yang mengajukan permintaan mendesak atas jasanya. Dan semua itu diakibatkan karena kedua orang ini mendukung poin-poin tertentu pandangan Dr. Clark. Hasilnya adalah pendeta demi pendeta telah menarik diri dari denominasi ini untuk mencari hubungan yang lebih baik.”[1]

—Sesi Calvary Church, Willow Grove, tentang hal meninggalkan OPC

Keberatan Berlanjut

Meskipun Keberatan dikalahkan di Presbiteri Philadelphia pada tanggal 29 Maret 1945, namun diangkat kembali di Sidang Raya Keduabelas OPC pada bulan Mei tahun yang sama.[2] Untuk menangani Keberatan, dibentuk sebuah komite di sidang raya yang beranggotakan lima orang. Anggota-anggota tersebut, menurut peraturan gereja, diminta dari luar Presbiteri Philadelphia, yaitu presbiteri tempat asal Keberatan. Lima orang yang terpilih dalam komite itu adalah Richard Willer Gray, Edmund Clowney, Lawrence Gilmore, Burton Goddard, dan John Murray.[3] Dr. Murray, seorang profesor di WTS, pasti mendukung pandangan penulis Keberatan. Dr. Goddard, dari Gordon College, dan Rev. Gray adalah teman dekat Clark dan tidak diragukan lagi berada di pihaknya. Dengan demikian, suara yang menentukan terletak pada pendapat Pendeta Gilmore, seorang pendeta di sebuah gereja di New Jersey, dan Pendeta Clowney, mantan mahasiswa Clark di Wheaton College dan lulusan baru dari Westminster Theological Seminary. Clowney terpilih sebagai ketua komite. Keterlibatannya menjadi sangat penting.

Baca lebih lanjut
Dipublikasi di Biografi | Meninggalkan komentar

Perubahan Posisi Van Til dkk Pasca Dikritik Clark dan Reaksi Mereka Selanjutnya

Berikut adalah kutipan salah satu bab dari buku Biografi Clark, yang ditulis oleh Doug Douma. Perhatikan bahwa yang dimaksud dengan Keberatan adalah dokumen yang ditulis oleh van Til dkk untuk menunjukkan bahwa keputusan Presbiteri Philadelphia OPC untuk menabiskan Gordon H. Clark sebagai pendeta tidak punya dasar kuat dan harus dicabut. Sedangkan Jawaban adalah sebuah dokumen yang disusun Gordon H. Clark dkk untuk menanggapi Keberatan.

Kutipan dimulai:

Salvo terakhir dalam kasus Clark di OPC diluncurkan pada Sidang Raya Kelima Belas pada tahun 1948 ketika laporan dari komite studi dicantumkan dalam berita acara rapat. Sebuah laporan mayoritas, yang ditulis oleh Murray, Stonehouse, dan Kuschke, secara khusus mengklarifikasi Keberatan, dengan alasan bahwa Keberatan tersebut tidak pernah dimaksudkan untuk bersifat skeptis atau membagi isi pengetahuan manusia dan Allah menjadi dua. Laporan mayoritas tersebut mengakui argumen utama Clark bahwa dengan menyangkali hubungan/titik temu antara pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia akan menghasilkan skeptisisme. Laporan tersebut berbunyi: “Pernyataan kedua [dalam keberatan asli] juga menyesatkan, terutama karena kata-kata, “satu titik temu pun.’ Seluruh klausa, jika dibaca secara terpisah, dapat menimbulkan kesan bahwa pengetahuan kita tidak punya hubungan dengan objek pengetahuan ilahi di titik manapun. Tentu saja hal itu tidak benar dan juga bersifat skeptis.”[1] Namun walaupun mengakui bahwa Keberatan menyesatkan, laporan tersebut tetap menyimpulkan bahwa:

Baca lebih lanjut
Dipublikasi di Biografi, Gordon H. Clark | Meninggalkan komentar

Kelanjutan Kontroversi [Clark] dan Akibat-Akibatnya

“Sidang [1946] tersebut mendukung penahbisan Dr. Gordon H. Clark dengan suara hampir mencapai dua banding satu. Seorang anggota fakultas Seminari Westminster dengan pidato yang berapi-api menyatakan bahwa tidak boleh ada seorang pun yang berpikir bahwa apa yang disebut kasus Clark telah berakhir, dan bahwa dia akan terus berjuang sampai ‘napas penghabisannya’. Mereka menolak penahbisan Tuan Tichenor. Mereka berhasil menggagalkan pengutusan Pdt. Floyd E. Hamilton untuk mengajar di sebuah seminari di Korea yang mengajukan permintaan mendesak atas jasanya. Dan semua itu diakibatkan karena kedua orang ini mendukung poin-poin tertentu pandangan Dr. Clark. Hasilnya adalah pendeta demi pendeta telah menarik diri dari denominasi ini untuk mencari hubungan yang lebih baik.”[1]

—Sesi Calvary Church, Willow Grove, tentang hal meninggalkan OPC

Keberatan Berlanjut

Meskipun Keberatan dikalahkan di Presbiteri Philadelphia pada tanggal 29 Maret 1945, namun diangkat kembali di Sidang Raya Keduabelas OPC pada bulan Mei tahun yang sama.[2] Untuk menangani Keberatan, dibentuk sebuah komite di sidang raya yang beranggotakan lima orang. Anggota-anggota tersebut, menurut peraturan gereja, diminta dari luar Presbiteri Philadelphia, yaitu presbiteri tempat asal Keberatan. Lima orang yang terpilih dalam komite itu adalah Richard Willer Gray, Edmund Clowney, Lawrence Gilmore, Burton Goddard, dan John Murray.[3] Dr. Murray, seorang profesor di WTS, pasti mendukung pandangan penulis Keberatan. Dr. Goddard, dari Gordon College, dan Rev. Gray adalah teman dekat Clark dan tidak diragukan lagi berada di pihaknya. Dengan demikian, suara yang menentukan terletak pada pendapat Pendeta Gilmore, seorang pendeta di sebuah gereja di New Jersey, dan Pendeta Clowney, mantan mahasiswa Clark di Wheaton College dan lulusan baru dari Westminster Theological Seminary. Clowney terpilih sebagai ketua komite. Keterlibatannya menjadi sangat penting.

Baca lebih lanjut
Dipublikasi di Biografi, Gordon H. Clark | Meninggalkan komentar

Asal-Usul Kontroversi Penahbisan [Clark]

“Seperti yang Anda ketahui, saya aktif pada awal tahun tiga puluhan untuk berupaya menyadarkan jemaat-jemaat AS tentang keseriusan kemurtadan di gereja itu. Saya memiliki andil dalam [pembentukan] Reformed Fellowship/Persekutuan Reformed, dan penggantinya, Presbyterian Constitutional Covenant Union (yang namanya kurang tepat). Saya tidak hanya berbicara di Penna., tetapi saya melakukan perjalanan sejauh N.D. dalam upaya tersebut. Kemudian pada tahun 1936 saya mendapat kehormatan memberikan pidato nominasi untuk Dr. Machen. Selama tujuh atau delapan tahun berikutnya saya mengajar di Wheaton, di mana saya merekomendasikan agar mahasiswa yang mengambil jurusan kependetaan untuk belajar di Westminster, bukan Dallas atau di tempat lain (dan saya cukup berhasil). Hal ini menyebabkan pengunduran diri paksa saya dari Wheaton. Karena minat saya yang berkelanjutan dalam pelayanan ini, saya memutuskan untuk melamar untuk ditahbis jadi pendeta. Yang sangat mengherankan saya, saya bukannya disambut, tetapi malah dimusuhi. Adalah saya yang bersama dua orang lainnya, yang mengangkat tuduhan bidat terhadap kaum penganut Afirmasi Auburn, ketika fakultas Westminster[1] [mencari alasan untuk tidak mengatakan apa pun]. Reaksi saya bukanlah kemarahan, melainkan keheranan dan kebingungan yang luar biasa.”[2]

—Surat Gordon H. Clark untuk George Marsden

Baca lebih lanjut
Dipublikasi di Biografi, Gordon H. Clark | Meninggalkan komentar

Kritik Clark terhadap Pandangan van Til Tentang Logika

Atas dasar ini Dr. Van Til menyimpulkan bahwa pembelaan yang disajikan di atas terhadap tuduhan bahwa doktrin Tritunggal bertentangan dengan diri sendiri, merupakan pembelaan yang tidak berdasar. Ia bahkan menyarankan orang untuk tidak perlu menerima hukum kontradiksi. Pada halaman 10 dari silabus yang sama ia menyatakan, “Hukum pemikiran dan hukum etika manusia tidak abadi dan tidak tak dapat berubah [dalam pengertian yang sama dengan dalam penegasan] bahwa Allah tak dapat berubah.” Sulit ditebak apa saja dua pengertian dari “tak dapat berubah’ yang dimaksud. Apa lagi makna dari “tak dapat diubah” selain bahwa hal yang dimaksud tetap sama?

Sejenis makna berbeda yang tidak diketahui dan sangat mencurigakan tidak memberikan kontribusi apa pun yang dapat dipahami untuk argumen apa pun. Tapi coba kita anggap bahwa hukum pemikiran bisa berubah. John Dewey menegaskan bahwa ini benar-benar terjadi. Ia berpendapat bahwa bahkan hukum kontradiksi pun pada akhirnya akan berubah. Hal ini berarti bahwa kebenaran dan kesalahan identik. Menurut logika Aristoteles, mustahil “Semua a adalah b” dan “Sejumlah a bukan b” sama-sama benar. Jika yang satu benar, yang lain pasti salah. Nah, jika Tuhan melampaui logika dan dengan sewenang-wenang memaksakan adanya perbedaan antara kebenaran dan kesalahan pada kita, sedangkan Ia sendiri tidak berpikir seperti itu, maka pernyataan “Semua anjing adalah mamalia” dan “Sejumlah anjing bukan mamalia” sama-sama benar. Keduanya juga salah, karena terlepas dari logika Aristoteles, pernyataan “Tidak ada anjing yang adalah mamalia” juga sama-sama benar. Pandangan Dewey tentang apa yang terjadi di masa depan, sekarang dipercaya sebagai pandangan Allah. Karena itu, Allah menjadi tidak rasional. Apa yang Ia katakan kepada kita di dalam Alkitab sama salahnya dan sama benarnya.

Tidak hanya semua proposisi benar sekaligus salah, tetapi tidak ada kata-kata yang memiliki arti. Menurut hukum dasar logika, agar sebuah kata memiliki makna, maka kata itu juga harus tidak boleh memiliki makna lain. [Agar memiliki arti] ‘Kucing’ harus berarti ‘pus’, tetapi juga tidak boleh berarti ‘anjing’. Jika kata yang dikemukakan harus berarti segalanya, maka kata itu tidak bermakna apa-apa. Andaikan kamus mencantumkan daftar makna kata ‘kucing’ yaitu: ikan teri, babon, keriting, anjing, semangat, bunga, sampai ke zyzomys; maka “kucing kucing kucing kucing” berarti babon makan ikan teri dengan penuh semangat. Dengan pola berpikir seperti itu, maka Senin adalah Kamis.

Diterjemahkan dari Trinity, Karya Gordon H. Clark

Dipublikasi di Filosofi, Logika, Trinitas | Meninggalkan komentar

Kritik Singkat Clark Terhadap Bavinck Terkait Trinitas

Sekarang kita coba mundur dari segi waktu, menyeberangi ulang Lautan Atlantik menuju ke Belanda, dan dalam rangka mempersiapkan diri memahami pandangan Dr. Cornelius Van Til dari Westminster Seminary, kita akan membahas teologi Herman Bavinck.[1]

Menjelang awal bukunya Bavinck menegaskan “…gagasan bahwa orang percaya mampu mengerti dan memahami secara intelektual misteri-misteri yang diwahyukan, sama tidak alkitabiahnya. Sebaliknya, kebenaran yang Allah wahyukan tentang diri-Nya dalam Kitab Suci

jauh melampaui konsepsi dan pemahaman manusia” (13). Kalau dipahami secara cepat kata-kata itu tampaknya bertentangan dengan 1 Korintus 2:7-16 dimana “Tidak ada dari penguasa dunia ini  yang mengenalnya,” namun “Tetapi kami memiliki pikiran Kristus.”

Dalam Efesus 3:3 “rahasianya dinyatakan kepadaku dengan wahyu… kamu dapat mengetahui dari padanya pengertianku akan rahasia Kristus.” Dalam ayat-ayat setelahnya misteri tersebut diberitahukan kepada Orang-Orang Efesus ataupun kepada para pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa di sorga. Secara khusus, karena Bavinck secara tegas menyatakan bahwa kita tidak dapat memahami Kitab Suci, kita harus menegaskan bahwa “Segala tulisan yang diilhamkan Allah … bermanfaat untuk mengajar,… Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.” Jika kita tidak dapat mengerti atau memahami apa yang Allah nyatakan untuk kita lakukan, apa manfaat wahyu?

Baca lebih lanjut
Dipublikasi di Filosofi, Gordon H. Clark, Logika | Meninggalkan komentar

Kejelasan Logis vs Kejelasan Psikologis

Beberapa waktu lalu beta mengikuti sebuah kegiatan perkuliahan. Dalam perkuliahan tersebut sang dosen begitu gemas dengan pemerintah. Pemerintah dipandang tidak logis karena terkait Covid-19 mengeluarkan himbauan jaga jarak, sekaligus hindari kerumunan. Menurut dosen tersebut kalau sudah ada himbauan jaga jarak, berarti otomatis kerumunan terhindari. Jadi pemerintah tidak perlu mengeluarkan himbauan yang redundant seperti itu.

Di satu pihak yang dikatakan sang dosen sangat dapat dipahami. Tetapi masalahnya sang dosen lupa bahwa sesuatu yang jelas secara logis belum tentu jelas secara psikologis. Apa yang dikatakan sang dosen jelas secara logis. Tetapi secara psikologis orang sering kali tidak menyadari implikasi logis sebuah pernyataan. Informasi yang disimpulkan dalam sebuah argumen deduktif sudah ada (jelas) secara logis dalam premis-premis. Tetapi seringkali tidak jelas secara psikologis.

Orang gagal mengambil kesimpulan yang valid dari premis-premis yang ada di hadapannya. Salah satu tugas pendidikan adalah mengasah kemampuan ini dan tampaknya itu tidak (jarang) terjadi. Kalau pendidikan tidak mampu, maka orang tua yang harus berperanan.

Kalau kejelasan logis menjadi kriteria dalam komunikasi maka terlalu banyak hal yang tidak pantas diucapkan atau dituliskan karena redundant. Akan ada banyak hal dalam Alkitab yang tidak perlu dituliskan. Redundancy adalah tool psikologis untuk memperjelas sesuatu yang walau sudah jelas secara logis tetapi tidak jelas secara psikologis.

Dipublikasi di Filosofi, Logika | 2 Komentar

Apa itu Filsfat – Revisi

Filsafat Yunani dimulai pada tanggal 28 Mei 585 S.M., pada jam 6:13 sore.

Apa itu Filsafat?

Di balik penegasan yang setengah serius dan setengah jenaka ini mengintai sejumlah masalah serius yang perlu diperkenalkan kepada pembaca. Pemula akan bertanya, ‘Apa itu Filsafat? Apakah benar bahwa tidak ada filsafat sebelum tahun 585 S.M.? Alasan misterius apa gerangan yang menyebabkan filsafat dimulai tepat pada 6:13 sore?

Dua pertanyaan pertama sangat terkait erat. Tentu saja ada sesuatu yang sebelumnya tidak ada yang menjadi kenyataan setelah tahun 585. Namun demikian, entah sesuatu itu filsafat atau tidak adalah masalah definisi. Pandangan umum menghubungkan “filsafat” dengan sebuah cara hidup. Frasa yang paling banyak kita jumpai yang berisi kata ini adalah frasa “filsafat/filosofi kehidupan.” Biasanya frasa ini memiliki makna yang beragam mulai kebiasaan cara hidup yang tak dipikirkan matang dari seorang yang mempunyai kecerdasan rendah, prinsip-prinsip yang secara sadar dipilih pengusaha, sampai ke keyakinan orang-orang yang telah berpaling dari urusan duniawi dan bertapa di biara-biara atau yang mendapatkan reputasi sebagai Pelihat karena mempraktikkan Yoga. Dengan makna ini, Salomo dan Abraham memiliki filsafat; dan filsafat itu bukanlah sesuatu yang baru muncul pada tahun 585 S.M.

Baca lebih lanjut

Dipublikasi di Filosofi, Gordon H. Clark, Sejarah Filsafat, Thales to Dewey | 1 Komentar